BAB 11 : HAK
KEKAYAAN INTELEKTUAL
1.
A. PENGERTIAN
HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau harta intelek (di Malaysia) ini merupakan
padanan dari bahasa Inggris Intellectual Property Right. Kata “intelektual”
tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya
pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the Human Mind) (WIPO,
1988:3).
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah
hak eksklusif Yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok
orang atas karya ciptanya. Secara sederhana HAKI mencakup Hak Cipta, Hak Paten
Dan Hak Merk. Namun jika dilihat lebih rinci HAKI merupakan bagian dari benda
(Saidin : 1995), yaitu benda tidak berwujud (benda imateriil).
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
termasuk dalam bagian hak atas benda tak berwujud (seperti Paten, merek, Dan
hak cipta). Hak Atas Kekayaan Intelektual sifatnya berwujud, berupa informasi,
ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, keterampilan dan sebagainya yang
tidak mempunyai bentuk tertentu.
1.
B. PRINSIP
– PRINSIP HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Prinsip – prinsip Hak Kekayaan
Intelektual :
1.
Prinsip Ekonomi.
Prinsip ekonomi, yakni hak intelektual
berasal dari kegiatan kreatif suatu kemauan daya pikir manusia yang
diekspresikan dalam berbagai bentuk yang akan memeberikan keuntungan kepada
pemilik yang bersangkutan.
1.
Prinsip Keadilan.
Prinsip keadilan, yakni di dalam
menciptakan sebuah karya atau orang yang bekerja membuahkan suatu hasil dari
kemampuan intelektual dalam ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang akan
mendapat perlindungan dalam pemiliknya.
1.
Prinsip Kebudayaan.
Prinsip kebudayaan, yakni perkembangan
ilmu pengetahuan, sastra, dan seni untuk meningkatkan kehidupan manusia
1.
Prinsip Sosial.
Prinsip sosial ( mengatur kepentingan
manusia sebagai warga Negara ), artinya hak yang diakui oleh hukum dan telah
diberikan kepada individu merupakan satu kesatuan sehingga perlindungan
diberikan bedasarkan keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat.
1.
C. KLASIFIKASI
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Berdasarkan WIPO hak atas kekayaan
intelaktual dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak cipta ( copyright ) ,
dan hak kekayaan industri (industrial property right).
Hak kekayaan industry ( industrial
property right ) adalah hak yang mengatur segala sesuatu tentang milik
perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum.
Hak kekayaan industry ( industrial
property right ) berdasarkan pasal 1 Konvensi Paris mengenai perlindungan Hak
Kekayaan Industri Tahun 1883 yang telah di amandemen pada tanggal 2 Oktober
1979, meliputi
1.
Paten
2.
Merek
3.
Varietas tanaman
4.
Rahasia dagang
5.
Desain industry
6.
Desain tata letak sirkuit terpadu
1.
D. DASAR
HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
- UU Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta
- UU Nomor 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
- UU Nomor 7 Tahun 1987
tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran
Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
- UU Nomor 12 Tahun 1997
tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
1.
E. HAK
CIPTA
PENGERTIAN
Hak Cipta adalah hak khusus bagi
pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Termasuk ciptaan yang
dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra dan seni.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2002 Tentang Hak Cipta :
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi
Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.(Pasal 1 ayat 1)
Hak cipta diberikan terhadap ciptaan
dalam ruang lingkup bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan kesusasteraan. Hak
cipta hanya diberikan secara eksklusif kepada pencipta, yaitu “seorang atau
beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan
berdasarkan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang
dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi”.
Dasar Hukum HAK CIPTA :
- UU Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta
- UU Nomor 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
- UU Nomor 7 Tahun 1987
tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran
Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
- UU Nomor 12 Tahun 1997
tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
1.
F. HAK
PATEN
PENGERTIAN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2001:
- Paten adalah hak
eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil invensinya
di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri
invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
melaksanakannya (Pasal 1 Ayat 1).
- Hak khusus yang
diberikan negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi,
untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau
memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya (Pasal 1
Undang-undang Paten).
- Paten diberikan dalam
ruang lingkup bidang teknologi, yaitu ilmu pengetahuan yang diterapkan
dalam proses industri. Di samping paten, dikenal pula paten sederhana
(utility models) yang hampir sama dengan paten, tetapi memiliki syarat-syarat
perlindungan yang lebih sederhana. Paten dan paten sederhana di Indonesia
diatur dalam Undang-Undang Paten (UUP).
- Paten hanya diberikan
negara kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru) di bidang
teknologi. Yang dimaksud dengan penemuan adalah kegiatan pemecahan masalah tertentu di
bidang teknologi yang berupa :
A. proses;
B. hasil produksi;
C. penyempurnaan dan pengembangan proses;
D. penyempurnaan dan pengembangan hasil produksi
Dasar Hukum HAK PATEN :
- UU Nomor 6 Tahun 1989
tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
- UU Nomor 13 Tahun 1997
tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI
Tahun 1997 Nomor 30)
- UU Nomor 14 Tahun 2001
tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109)
1.
G. HAK
MERK
PENGERTIAN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 :
Merek adalah tanda yang berupa gambar,
nama, kata, huruf- huruf, angka- angka, susunan warna, atau kombinasi dari
unsur- unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang atau jasa. (Pasal 1 Ayat 1)
Merek merupakan tanda yang digunakan
untuk membedakan produk (barang dan atau jasa) tertentu dengan yang lainnya
dalam rangka memperlancar perdagangan, menjaga kualitas, dan melindungi
produsen dan konsumen.
Merek adalah tanda yang berupa gambar,
nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari
unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 Undang-undang Merek).
Istilah – Istilah Merk :
- Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang
yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
- Merek jasa yaitu merek yang digunakan pada jasa
yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
- Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada
barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh
beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan
dengan barang atau jasa sejenis lainnya.
- Hak atas merek adalah hak khusus yang diberikan
negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk
jangka waktu tertentu, menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin
kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum
untuk menggunakannya.
Dasar Hukum HAK MERK :
- UU Nomor 19 Tahun 1992
tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 81)
- UU Nomor 14 Tahun 1997
tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI
Tahun 1997 Nomor 31)
- UU Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 110)
1.
H. DESAIN
INDUSTRI
PENGERTIAN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2000 Tentang Desain Industri :
Desain Industri adalah suatu kreasi
tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan
warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi
yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau
dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang,
komoditas industri, atau kerajinan tangan. (Pasal 1 Ayat 1)
1.
I. RAHASIA
DAGANG
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2000 Tentang Rahasia Dagang :
Rahasia Dagang adalah informasi yang
tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai
ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh
pemilik Rahasia Dagang.
BAB
12 : PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pengertian
Konsumen
Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan
Konsumsi, dari bahasa Belanda
consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan
daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan
dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan
atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali (Jawa: kulakan),
maka dia disebut pengecer atau distributor. Pada masa sekarang ini bukan suatu
rahasia lagi bahwa sebenarnya konsumen adalah raja sebenarnya, oleh karena itu
produsen yang memiliki prinsip holistic marketing sudah seharusnya
memperhatikan semua yang menjadi hak-hak konsumen
Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan
tujuan yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam implementasinya di
tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan
konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
Asas perlindungan konsumen .
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas
perlindungan konsumen.
•Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya
bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
•Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
•Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual.
d.Asas keamanan dan keselamatan konsumen.
•Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
•Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hokum
dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta
Negara menjamin kepastian hukum.
Tujuan perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan
perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
• Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri.
• mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
• Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak-
haknya sebagai konsumen.
• Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
• Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
• Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen.
Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak Konsumen adalah :
-Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa
-Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan
-Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa
-Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan
-Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut
-Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
-Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
-Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya
-Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya’
Kewajiban konsumen adalah :
-membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan
-beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa
-membayar dengan nilai tukar yang disepakati
-mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak pelaku usaha adalah :
-hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
-hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikat tidak baik;
-hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaiakan
hukum sengketa konsumen;
-hak untuk rehabilitasi nama baik apbila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
-hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban pelaku usaha adalah :
-beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
-memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
-memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
-menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
-memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
-memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
-memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam
Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-etentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3
kelompok, yakni:
-larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
-larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
-larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Mari kita bahas satu per satu. Yang pertama ialah larangan bagi pelaku
usaha dalam kegiatan produksi. Ada 10 larangan bagi pelaku usaha
sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha
dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
-tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
-tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
-tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
-tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut;
-tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan
dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
-tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
-tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
-tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label;
-tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain
untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
-tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha
di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang
diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku,
pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji
yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus
dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat
atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar
atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan
yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak,
cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia,
istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau
kurang sempurna.
Bekas: sudah pernah dipakai.
Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut
saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat
berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang.
Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada
sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya
berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Hukum tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan melanggar
hukum tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa
melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian
terlihat bahwa adagium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab telah
ditinggalkan) dan kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung
jawab).
Istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar 60
tahun yang lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan
dimulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen
(Producer and manufacture) maupun penjual (seller, distributor) mengasuransikan
barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk yang
cacat atau menimbulkan kerugian tehadap konsumen.
Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat
dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produser (Product
Liability) produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang
bersifat intangible seperti listrik, produk alami (mis. Makanan binatang
piaraan dengan jenis binatang lain), tulisan (mis. Peta penerbangan yang
diproduksi secara masal), atau perlengkapan tetap pada rumah real estate (mis.
Rumah). Selanjutnya, termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak
semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk
komponen suku cadang.
Tanggung jawab produk (product liability), menurut Hursh bahwa product
liability is the liability of manufacturer, processor or non-manufacturing
seller for injury to the person or property of a buyer third party, caused by
product which has been sold. Perkins Coie juga menyatakan Product Liability:
The liability of the manufacturer or others in the chain of distribution of a
product to a person injured by the use of product
Dengan demikian, yang dimaksud dengan product liability adalah suatu
tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu
produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam
suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang
atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut.
Bahkan dilihat dari konvensi tentang product liability di atas, berlakunya
konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian
komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para
pengusaha, bengkel dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja
dari badan-badan usaha di atas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan
produk yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi
pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.
Sanksi Pelaku Usaha
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen
Sanksi Perdata :
•Ganti rugi dalam bentuk :
-Pengembalian uang atau
-Penggantian barang atau
-Perawatan kesehatan, dan/atau
-Pemberian santunan
•Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika
melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
•Kurungan :
Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar -rupiah) (Pasal
8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b,c, dan e dan Pasal 18
-Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah)
(Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1)huruf d dan f
•Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang
Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap
atau kematian
•Hukuman tambahan , antara lain :
-Pengumuman keputusan Hakim
-Pencabuttan izin usaha;
-Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
-Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
-Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
BAB 13 : Anti Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat
1. Pengertian
Pasar Monopoli adalah suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual
yang menguasai pasar. Penentu harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau
sering disebut sebagai "monopolis".
Sebagai penentu harga (price-maker), seorang monopolis dapat menaikan atau
mengurangi harga dengan cara menentukan jumlah barang yang akan diproduksi;
semakin sedikit barang yang diproduksi, semakin mahal harga barang tersebut,
begitu pula sebaliknya. Walaupun demikian, penjual juga memiliki suatu
keterbatasan dalam penetapan harga. Apabila penetapan harga terlalu mahal, maka
orang akan menunda pembelian atau berusaha mencari atau membuat barang
subtitusi (pengganti) produk tersebut.
2. Asas dan Tujuan
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku
usaha dan kepentingan umum.
Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU
No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh
kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan
persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting
competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
3. Kegiatan yang Dilarang
Dalam UU No.5/1999,kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan
pasal 24. Undang undang ini tidak memberikan defenisi kegiatan,seperti halnya
perjanjian. Namun demikian, dari kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan kegiatan disini adalah aktivitas,tindakan secara sepihak.
Bila dalam perjanjian yang dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka
dalam kegiatan yang dilarang adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.
Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :
1. Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
2. Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli
tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak
sebagai penjual jumlahnya banyak.
3. Penguasaan pasar
Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan
praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan;
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4. Persekongkolan
Adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha
lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku
usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).
5. Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku
usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan
dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi
diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan,
kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan
pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
6. Jabatan Rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang yang
menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada
waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada
perusahaan lain.
7. Pemilikan Saham
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku
usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis,
melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama
atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.
8. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha
yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan
perusahaan bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan.
4. Perjanjian yang Dilarang
1. Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah
sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga
pasar.
2. Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian,
antara lain :
a. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang
dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama ;
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang
berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau
jasa yang sama ;
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah
harga pasar ;
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima
barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa
yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah
dijanjikan.
3. Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang
dan atau jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik
untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran
suatu barang dan atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang
lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap
perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi
dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
7. Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
8. Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian
produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu
rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9. Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan
bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak
memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau
pada tempat tertentu.
10. Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat
ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
5. Hal-hal yang Dikecualikan dalam UU Anti Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan
pasar, yang terdiri dari:
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
2. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
(a) Monopoli
(b) Monopsoni
(c) Penguasaan pasar
(d) Persekongkolan
3. Posisi dominan, yang meliputi :
(a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
(b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
(c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
(d) Jabatan rangkap
(e) Pemilikan saham
(f) Merger, akuisisi, konsolidasi
6. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di
Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999
tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
7. Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan
penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada
tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal
yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku
usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi
administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya
diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga
mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok.
Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14,
Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam
pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah)
dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15,
Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau
pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan
pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan
berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva
kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak
menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau
penyidikan dalam konteks pidana.
BAB 14 : Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau
konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang,
kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau
kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu
objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari
persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat
menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa
sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat
menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi
salah satu diantara keduanya
Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan
kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal
33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara
sebagai berikut:
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk
menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk
mencari fakta.
3. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak
dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
1. Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan
kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2. Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens)
untuk perkara di pengadilan.
Tujuan memperkarakan suatu sengketa:
1. adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2. dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah
(inexpensive)
Selain dari pada itu berperkara melalui pengadilan:
1. lama dan sangat formalistik (waste of time and formalistic),
2. biaya tinggi (very expensive),
3. secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
4. kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat
biasa.
Sistem Alternatif Yang Dikembangkan
a). Sistem Mediation
Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa
melalui penengah (mediator). Dengan demikian sistem mediasi, mencari
penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah). Dari pengertian di atas,
mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan
atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di
pengadilan). Pada mediasi, para pihak yang bersengketa, datang bersama secara
pribadi. Saling berhadapan antara yang satu dengan yang lain. Para pihak
berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga yang netral. Peran dan fungsi
mediator, membantu para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian yang
mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah
compromise atau kompromi di antara para pihak. Dalam mencari kompromi, mediator
memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari
kemenangan. Sebab kalau timbul gejala yang seperti itu, para pihak akan
terjebak pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari
kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have
may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there is no
the way).
Cara dan sikap yang seperti itu, bertentangan dengan asas
mediasi:
1. bertujuan mencapai kompromi yang maksimal,
2. pada kompromi, para pihak sama-sama menang atau win-win,
3. oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada yang
menang mutlak.
Manfaat yang paling mennjol, antara lain:
1. Penyelesaian cepat terwujud (quick). Rata-rata kompromi di antara pihak
sudah dapat terwujud dalam satu minggu atau paling lama satu atau dua bulan.
Proses pencapaian kompromi, terkadang hanya memerlukan dua atau tiga kali
pertemuan di antara pihak yang bersengketa.
2. Biaya Murah (inexpensive). Pada umumnya mediator tidak dibayar. Jika
dibayarpun, tidak mahal. Biaya administrasi juga kecil. Tidak perlu didampingi
pengacara, meskipun hal itu tidak tertutup kemungkinannya. Itu sebabnya proses
mediasi dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
3. Bersifat Rahasia (confidential). Segala sesuatu yang diutarakan para pihak
dalam proses pengajuan pendapat yang mereka sampaikan kepada mediator, semuanya
bersifat tertutup. Tidak terbuka untuk umum seperti halnya dalam proses
pemeriksaan pengadilan (there is no public docket). Juga tidak ada peliputan
oleh wartawan (no press coverage).
4. Bersifat Fair dengan Metode Kompromi. Hasil kompromi yang dicapai merupakan
penyelesaian yang mereka jalin sendiri, berdasar kepentingan masing-masing
tetapi kedua belah pihak sama-sama berpijak di atas landasan prinsip saling
memberi keuntungan kepada kedua belah pihak. Mereka tidak terikat mengikuti
preseden hukum yang ada. Tidak perlu mengikuti formalitas hukum acara yang
dipergunakan pengadilan. Metode penyelesaian bersifat pendekatan mencapai
kompromi. Tidak perlu saling menyodorkan pembuktian. Penyelesaian dilakukan
secara: (a) informal, (b) fleksibel, (c) memberi kebebasan penuh kepada para
pihak mengajukan proposal yang diinginkan.
5. Hubungan kedua belah pihak kooperatif. Dengan mediasi, hubungan para pihak
sejak awal sampai masa selanjutnya, dibina diatas dasar hubungan kerjasama
(cooperation) dalam menyelesaikan sengketa. Sejak semula para pihak harus
melemparkan jauh-jauh sifat dan sikap permusuhan (antagonistic). Lain halnya
berperkara di pengadilan. Sejak semula para pihak berada pada dua sisi yang
saling berhantam dan bermusuhan. Apabila perkara telah selesai, dendam kesumat
terus membara dalam dada mereka.
6. Hasil yang dicapai WIN-WIN. Oleh karena penyelesaian yang diwujudkan berupa
kompromi yang disepakati para pihak, kedua belah pihak sama-sama menang. Tidak
ada yang kalah (lose) tidak ada yang menang (win), tetapi win-win for the
beneficial of all. Lain halnya penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Pasti
ada yang kalah dan menang. Yang menang merasa berada di atas angin, dan yang
kalah merasa terbenam diinjak-injak pengadilan dan pihak yang menang.
7. Tidak Emosional. Oleh karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada
kerjasama untuk mencapai kompromi, masing-masing pihak tidak perlu saling
ngotot mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki. Tidak saling membela
dan mempertahankan kebenaran masing-masing. Dengan demikian proses penyelesaian
tidak ditunggangi emosi.
b). Sistem Minitrial
Sistem yang lain hampir sama dengan mediasi ialah
minitrial. Sistem ini muncul di Amerika pada tahun 1977. Jadi kalau terjadi
sengketa antara dua pihak, terutama di bidang bisnis, masing-masing pihak
mengajak dan sepakat untuk saling mendengar dan menerima persoalan yang
diajukan pihak lain:
1. setelah itu baru mereka mengadakan perundingan (negotiation),
2. sekiranya dari masalah yang diajukan masing-masing ada hal-hal yang dapat
diselesaikan, mereka tuangkan dalam satu resolusi (resolution).
c). Sistem Concilition
Konsolidasi (conciliation), dapat diartikan sebagai
pendamai atau lembaga pendamai. Bentuk ini sebenarnya mirip dengan apa yang
diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada hakikatnya sistem peradilan
Indonesia dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang berarti:
1. pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak
sebagai conciliator atau majelis pendamai,
2. setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk
memeriksa dan mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.
Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang; upaya
mendamaikan yang digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan
sebagai formalitas saja. Jarang ditemukan pada saat sekarang penyelesaian
sengketa melalui perdamaian di muka hakim.
Lain halnya di negara-negara kawasan Amerika, Eropa,
maupun di kawasan Pasific seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan
Singapura. Sistem konsiliasi sangat menonjol sebagai alternatif. Mereka
cenderung mencari penyelesaian melelui konsiliasi daripada mengajukan ke
pengadilan.
Di negara-negara yang dikemukakan di atas, lembaga
konsiliasi merupakan rangkaian mata rantai dari sistem penyelesaian sengketa
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. pertama; penyelesaian diajukan dulu pada mediasi
2. kedua; bila mediasi gagal, bisa dicoba mencari penyelesaian melalui minirial
3. ketiga; apabila upaya ini gagal, disepakati untuk mencari penyelesaian
melalui kosolidasi,
4. keempat; bila konsiliasi tidak berhasil, baru diajukan ke arbitrase.
Memang, setiap kegagalan pada satu sistem, penyelesaian sengketa dapat langsung
diajukan perkaranya ke pengadilan (ordinary court). Misalnya, mediasi gagal.
Para pihak langsung mencari penyelesaian melalui proses berperkara di
pengadilan. Akan tetapi pada saat sekarang jarang hal itu ditempuh. Mereka
lebih suka mencari penyelesaian melalui sistem alternatif, daripada langsung
mengajukan ke pengadilan. Jadi di negara-negara yang disebut di atas,
benar-benar menempatkan kedudukan dan keberadaan pengadilan sebagai the last
resort, bukan lagi sebagai the first resort.
Biasanya lembaga konsiliasi merupakan salah satu bagian
kegiatan lembaga arbitrase, arbitrase institusional, bertindak juga sebagai conciliation
yang bertindak sebagai conciliator adalah panel yang terdaftar pada Arbitrase
Institusional yang bersangkutan:
1. sengketa yang diselesaikan oleh lembaga konsiliasi pada umumnya meliputi
sengketa bisnis,
2. hasil penyelesaian yang diambil berbentuk resolution, bukan putusan atau
award (verdict),
3. oleh karena itu, hasil penyelesaian yang berbentuk resolusi tidak dapat
diminta eksekusi ke pengadilan,
4. dengan demikian, walaupun resolusi memeng itu bersifat binding (mengikat)
kepada para pihak, apabila salah satu pihak tidak menaati dengan sukarela tidak
dapat diminta eksekusi ke pengadilan. Dalam hal yang seperti itu penyelesaian
selanjutnya harus mengajukan gugatan ke pengadilan.
d). Sistem Adjudication
Sistem Adjudication merupakan salah satu alternatif
penyelesaian sengketa bisnis yang baru berkembang di beberapa negara. Sistem
ini sudah mulai populer di Amerika dan Hongkong.
Secara harafiah, pengertian “ajuddication” adalah
putusan. Dan memang demikian halnya. Para pihak yang bersengketa sepakat
meminta kepada seseorang untuk menjatuhkan putusan atas sengketa yang timbul
diantara mereka:
1. orang yang diminta bertindak dalam adjudication disebut adjudicator
2. dan dia berperan dan berfungsi seolah-olah sebagai HAIM (act as judge),
3. oleh karena itu, dia diberi hak mengambil putusan (give decision).
Pada prinsipnya, sengketa yang diselesaikan melalui sistem adjudication adalah
sengketa yang sangat khusus dan kompleks (complicated). Tidak sembarangan orang
dapat menyelesaiakan, karena untuk itu diperlukan keahlian yang khusus oleh
seorang spesialis profesional. Sengketa konstruksi misalnya. Tidak semua orang
dapat menyelesaikan. Diperlukan seorang insinyur profesional. Di Hongkong
misalnya. Sengketa mengenai pembangunan lapangan terbang ditempuh melalui
lembaga adjudication oleh seorang adjudicator yang benar-benar ahli mengenai
kontruksi lapangan terbang.
Proses penyelesaian sengketa meleui sistem ini, sangat
sederhana. Apabila timbul sengketa:
1. para pihak membuat kesepakatan penyelesaian melaui adjudication,
2. berdasar persetujuan ini, mereka menunjuk seorang adjudicator yang
benar-benar profesional,
3. dalam kesepakatan itu, kedua belah pihak diberi kewenangan (authority)
kepada adjudicator untuk mengabil keputusan (decision) yang mengikat kepada
kedua belah pihak (binding to each party),
4. sebelum mengambil keputusan, adjudicator dapat meminta informasi dari kedua
belah pihak, baik secara terpisah maupun secara bersama-sama.
e). Sistem Arbitrase
Mengenai arbitrase, sudah lama dikenal. Semula dikenal
oleh Inggris dan Amerika pada tahun 1779 melaui Jay Treaty. Berdasar data ini,
perkembangan arbitrase sebagai salah satu sistem alternatif tempat penyelesaian
sengketa, sudah berjalan selam adua abad.Sekarang semua negara di dunia telah
memiliki Undang-undang arbitrase.
Di Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga
RV. Dengan demikian, umurnya sudah terlampau tua, karena RV dikodifikasi pada
tahun 1884. Oleh karena itu, aturan yang terdapat didalamnya sudah ketinggalan,
jika dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan.
Memang banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang
lain tadi, seperti:
1. sederhana dan cepat (informal dan quick),
2. prinsip konfidensial,
3. diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus
secara profesional.
Namun, demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap
fundamental, sehingga dunia bisnis lebih cenderung memiliki mediation,
minitrial atau adjusdication. Perbedaan yang dianggap fundamental, antara lain
dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus
dikeluarkan penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di
pengadilan. Terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan, sehingga
terkadang jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus dikeluarkan bila perkara
diajukan ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase terdiri dari: (a) Biaya
administrasi (b) Honor arbitrator. (c) Biaya transportasi dan akomodasi
arbitrator (d) Biaya saksi dan ahli. Komponen biaya yang seperti itu, tidak ada
dalam mediasi atau minitrial. Jika pun ada biaya yang harus dikeluarkan, jauh
lebih kecil. Apalagi mediasi, boleh dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
2. Masalah sederhana dan cepat. Memang benar salah satu prinsip pokok
penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah informal procedure and can be
put in motion quickly. Jadi prinsipnya informal dan cepatI. Tetapi kenyataan
yang terjadi adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan
arbitrase dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian yang
memakan waktu panjang. Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun.
Apalagi timbul perbedaan pendapat mengenai penunjukkan arbitrase, Rule yang
disepakati atau hukum yang hendak diterapkan (governing law), membuat proses
penyelesaian bertambah rumit dan panjang.
Kelebihan tersebut antara lain:
1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
2. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan
administratif;
3. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang
disengketakan, jujur dan adil;
4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya
serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5. putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan
melalui tata cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat
dilaksanakan.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat
digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang bersifat
langsung (negtation simplister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi
dan konsiliasi),
2. Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional
maupun internasional.
3. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat
ad-hoc yang terlembaga.
Arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun
perdata, namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk
menyelesaikan sengketa kontraktual (perdata). Sengketa perdata dapat
digolongkan menjadi:
1. Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact)
yang dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis yang
tinggi.
2. Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual,
sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam dokumen (construction of
document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
3. Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum
(question of fact and law).
Sumber : http://aliesaja.wordpress.com/2010/06/03/penyelesaian-sengketa-ekonomi/